Konsep ini dikumpulkan dari berbagai sumber untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah Indonesia.
John Dewey, salah seorang filsuf dan pendidik paling berpengaruh di Amerika pada abad ke-20, berprinsip dalam Moore (2009: 4) bahwa sekolah haruslah lebih memberikan perhatian pada mempersiapkan para siswanya menghadapi realita kehidupan saat ini (realities of today), dan bukan pada cita-cita masa depan yang masih belum jelas (vague future). Prinsip ini memiliki konsekuensi bahwa kegiatan belajar haruslah berorientasi pada kehidupan nyata, dan ketrampilan yang dibutuhkan para siswa sebaiknya berasal dari kehidupan sehari-hari. Kemudian berkembang pula teori pembelajaran lebih lanjut yang disebut konstruktivisme (constructivism), yaitu pendekatan yang mengubah paradigma bagaimana kita melihat pembelajaran. Esensi dari pendekatan konstruktivis adalah ide bahwa “learners individually discover and build their own knowledge” (Wikipedia, 2012). Pandangan inipun sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah Indonesia.
Bimbingan sendiri adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami dan menerima diri dan lingkungannya, mengarahkan diri, dan menyesuaikan diri secara positif dan konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan (agama dan budaya) sehingga mencapai kehidupan yang bermakna (berbahagia, baik secara personal maupun sosial). Sementara konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konsele (PPPPTK Penjas dan BK Depdikbud, 2012). Jadi, konseling merupakan salah satu teknik pelayanan bimbingan secara keseluruhan, yaitu dengan cara memberikan bantuan secara individual (face to face relationship). Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan kegiatan yang integral (Depdiknas, 2008).
Selanjutnya dalam Depdikbud (1998), dijelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah adalah: (1) BK adalah kegiatan pelayanan, artinya guru BK melayani siswa dan bukan menyuruh. Konsekuensinya layanan BK harus disesuaikan dengan keperluan siswa dan bukan keinginan guru atau sekolah; (2) BK berangkat dari prinsip bahwa setiap individu berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu sangat wajar jika setiap siswa memiliki sifat dan keinginan yag berbeda; (3) BK bertolak dari prinsip membantu siswa agar mereka mampu menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap layanan BK diarahkan agar yang bersangkutan semakin mampu mandiri; (4) BK merupakan bagian integral pendidikan di sekolah. Oleh karena itu kegiatan maupun penanganan BK harus dipadukan dengan program sekolah lainnya. Keterpaduan mencakup penyusunan program maupun pelaksanannya.
Kemudian fungsi layanan Bimbingan dan Konseling dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah adalah: (1) fungsi pemahaman, yaitu memahami karakteristik/ potensi/tugas-tugas perkembangan peserta didik dan membantu mereka untuk memahaminya secara objektif/realistik; (2) fungsi preventif, yaitu memberikan layanan orientasi dan informasi mengenai berbagai aspek kehidupan yg patut dipahami peserta didik agar mereka tercegah dari masalah; (3) fungsi pengembangan, yaitu memberikan layanan bimbingan untuk membantu peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya/tugas-tugas perkembangannya; dan (4) fungsi kuratif, yaitu membantu para peserta didik agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya (pribadi, sosial, belajar, atau karir) (Depdiknas, 2008).
Daftar Pustaka
Klik gambar untuk memperbesar |
John Dewey, salah seorang filsuf dan pendidik paling berpengaruh di Amerika pada abad ke-20, berprinsip dalam Moore (2009: 4) bahwa sekolah haruslah lebih memberikan perhatian pada mempersiapkan para siswanya menghadapi realita kehidupan saat ini (realities of today), dan bukan pada cita-cita masa depan yang masih belum jelas (vague future). Prinsip ini memiliki konsekuensi bahwa kegiatan belajar haruslah berorientasi pada kehidupan nyata, dan ketrampilan yang dibutuhkan para siswa sebaiknya berasal dari kehidupan sehari-hari. Kemudian berkembang pula teori pembelajaran lebih lanjut yang disebut konstruktivisme (constructivism), yaitu pendekatan yang mengubah paradigma bagaimana kita melihat pembelajaran. Esensi dari pendekatan konstruktivis adalah ide bahwa “learners individually discover and build their own knowledge” (Wikipedia, 2012). Pandangan inipun sangat berpengaruh terhadap perkembangan konsep bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah Indonesia.
Bimbingan sendiri adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami dan menerima diri dan lingkungannya, mengarahkan diri, dan menyesuaikan diri secara positif dan konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan (agama dan budaya) sehingga mencapai kehidupan yang bermakna (berbahagia, baik secara personal maupun sosial). Sementara konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi konsele (PPPPTK Penjas dan BK Depdikbud, 2012). Jadi, konseling merupakan salah satu teknik pelayanan bimbingan secara keseluruhan, yaitu dengan cara memberikan bantuan secara individual (face to face relationship). Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan kegiatan yang integral (Depdiknas, 2008).
Selanjutnya dalam Depdikbud (1998), dijelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah adalah: (1) BK adalah kegiatan pelayanan, artinya guru BK melayani siswa dan bukan menyuruh. Konsekuensinya layanan BK harus disesuaikan dengan keperluan siswa dan bukan keinginan guru atau sekolah; (2) BK berangkat dari prinsip bahwa setiap individu berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu sangat wajar jika setiap siswa memiliki sifat dan keinginan yag berbeda; (3) BK bertolak dari prinsip membantu siswa agar mereka mampu menolong dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap layanan BK diarahkan agar yang bersangkutan semakin mampu mandiri; (4) BK merupakan bagian integral pendidikan di sekolah. Oleh karena itu kegiatan maupun penanganan BK harus dipadukan dengan program sekolah lainnya. Keterpaduan mencakup penyusunan program maupun pelaksanannya.
Kemudian fungsi layanan Bimbingan dan Konseling dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah adalah: (1) fungsi pemahaman, yaitu memahami karakteristik/ potensi/tugas-tugas perkembangan peserta didik dan membantu mereka untuk memahaminya secara objektif/realistik; (2) fungsi preventif, yaitu memberikan layanan orientasi dan informasi mengenai berbagai aspek kehidupan yg patut dipahami peserta didik agar mereka tercegah dari masalah; (3) fungsi pengembangan, yaitu memberikan layanan bimbingan untuk membantu peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya/tugas-tugas perkembangannya; dan (4) fungsi kuratif, yaitu membantu para peserta didik agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya (pribadi, sosial, belajar, atau karir) (Depdiknas, 2008).
Daftar Pustaka
- Depdiknas. (2008). Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
- Moore, K.D. (2009). Effective instructional strategies, from theory to practice (Second Edition). SAGE Publications, Inc.
- PPPPTK Penjas dan BK Depdikbud. (2012). Modul Bimbingan dan Konseling (BK).
- Wikipedia. (2012). School counselor. Diambil pada tanggal 1 September 2012, dari http://en.wikipedia.org/wiki/School_counselor
- Wikipedia. (2012). Constructivism (learning theory). Diambil pada tanggal 5 November 2012, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivism_(learning_theory)
1 Komentar
Thank's Infonya Bray .. !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id