Dikotomi Kementerian Pendidikan dan Kementerian Tenaga Kerja

Seperti banyak negara lain, pengurusan pendidikan vokasi di Indonesia dilaksanakan oleh 2 instansi utama yaitu Kementerian Pendidikan dan Kementerian Tenaga Kerja. Didalam pelaksanaan operasional, instansi terkait lain juga akan terlibat, misalnya dalam hal ketenagaan di bidang kehutanan akan diurus oleh Kementerian Kehutanan. Pengaturan 2 jalur ini menyimpan potensi disorganisasi dalam pelaksanaannya, walau juga membawa banyak hal positif. Lihat tulisan sebelumnya mengenai pengaturan pendidikan vokasional di Indonesia.


Hal Positif

Pembagian tugas yang terjadi adalah dimana Kementerian Pendidikan mengurus tahapan pre-service (sebelum bekerja), sementara Kementerian Tenaga Kerja mengurus tahap in-service (setelah bekerja). Ini membuat garis batas diantara kegiatan keduanya menjadi relatif jelas dan tidak bertabrakan.

Kementerian Pendidikan bisa fokus pada pengembangan institusi pendidikan pemasok tenaga kerja seperti SMK, Politeknik dan perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Pengembangan yang dimaksud meliputi ketersediaan sarana prasarana, tenaga pendidik, sistem pembelajaran, dll.

Dalam pengembangan SDM in-service yang berhubungan langsung dengan para pekerja yang sudah bekerja, diperlukan koordinasi sangat erat dengan perusahaan tempat para pekerja bekerja. Pola hubungan antara Kementerian Tenaga Kerja dan perusahaan sudah lebih jelas, komprehensif dan memang sudah secara tradisional terjadi. Ini membuat pengembangan kualitas dan penyediaan tenaga secara kuantitas bisa langsung dikaitkan dengan aspek ketenagakerjaan lain seperti hubungan tripartit dengan serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, sistem pengupahan, dll.

Hal Negatif

Akan selalu ada area abu-abu dimana kedua kementerian akan harus selalu melakukan koordinasi erat dan bahkan bekerja bersama dalam satu kesatuan langkah. Kecenderungan yang ada saat ini, daerah abu-abu ini akhirnya terabaikan dan tak terkerjakan karena adanya ego institusi serta pola koordinasi yang buruk dalam sistem birokrasi pemerintahan kita.

Beberapa hal yang masuk area bersama ini antara lain adalah penetapan standar kompetensi yang dipakai industri dan pada gilirannya harus dipakai oleh dunia pendidikan sebagai acuan pengajaran vokasi  bagi peserta didiknya. Apa yang terjadi? Kementerian Tenaga Kerja membuat SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) sementara Kementerian Pendidikan membuat SKKD (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) untuk SMK. Apakah keduanya sinkron? Menurut saya jauh dari sinkron. Bahkan proses penyusunannya pun belum konsisten, tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak melibatkan pihak yang betul-betul relevan.

Pendidikan vokasi di perguruan tinggi lebih parah. Institusi memiliki banyak kebebasan untuk membuat jurusan dan isi kurikulum sesuai kebutuhan selama diberi izin oleh Kementerian Pendidikan. Apa yang terjadi? Perguruan tinggi jalan sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan industri. Ada semacam fenomena menara gading disini, perguruan tinggi punya ego sebagai "pusat ilmu pengetahuan" sehingga tidak terlalu perlu melakukan "link & match" ke dunia industri. Hal ini terutama terjadi di universitas dan penyelenggara pendidikan S1, S2 dan S3. Penyelenggara program diploma memang punya kewajiban untuk selalu sejalan dengan gerak di industri.

Uniknya, di sisi lain perguruan tinggi kesulitan berimprovisasi karena adanya ketentuan nomenklatur nama jurusan yang harus diikuti sehingga malah menjadi kaku dan sulit menyesuaikan diri dengan perkembangan di dunia industri. Dalam beberapa kasus bahkan izin dari Dikti justru sulit turun karena persoalan birokratis.

Persoalan berikut adalah pada pengaturan magang bagi siswa SMK dan mahasiswa. Magang adalah hal mutlak yang harus dilakukan dengan baik dalam sistem pendidikan vokasi. Namun saat ini sangat sulit berharap adanya harmonisasi hubungan antara dunia industri (jurisdiksi Kementerian Tenaga Kerja) dengan dunia pendidikan yang berada dibawah jurisdiksi Kementerian Pendidikan, bahkan BLK-BLK pun (yang berada dibawah Kementerian Tenaga Kerja) kesulitan mendapat tempat magang yang layak dan mencukupi jumlahnya.

Persoalan laten lain adalah pada kualitas para pengajar di institusi pendidikan vokasi yang sangat rendah dan tidak memiliki jalur komunikasi dengan dunia industri. Idealnya para pengajar adalah para expert yang berasal dari industri yang diterjunkan ke dunia pendidikan. Jika tidak bisa full time bisa diatur paruh waktu atau bergiliran. Apa yang terjadi? Tenaga ahli tidak dilepas oleh industri untuk masuk menjadi pelatih di institusi pendidikan dan pelatihan, para pengajar juga sangat sulit masuk ke industri untuk meng-update kompetensi mereka. Atau pada kasus lain industri telah membuka pintu, namun pengajar tidak memiliki waktu untuk magang di industri karena besarnya beban mengajar.

Persoalan tenaga pendidik dan pelatih vokasi ini sebenarnya bisa dipecahkan dan cukup sederhana jika kedua kementrian bekerja sama. Bisa saja dibuat aturan agar para expert di dunia industri wajib untuk menyumbangkan sedikit waktunya untuk menjadi pelatih tamu di institusi pendidikan dan pelatihan vokasi, semacam "wajib militer". Jika ribuan expert ini bisa diatur bergiliran masuk ke industri, bayangkan betapa hal ini bisa membawa dampak positif ke dunia pendidikan vokasi. Para expert ada di daerah jurisdiksi Kementerian Tenaga Kerja, sementara lembaga ada dibawah Kementrian Pendidikan. Lagi-lagi butuh komitmen kerja bersama.

Untuk menambah rumit keadaan, khusus untuk pengembangan tenaga kerja in-service di instansi pemerintah (PNS), lembaga yang mengurus dibuat tersendiri yaitu Kantor Menpan. Lembaga penyelenggara pelatihannya ada banyak diantaranya LAN (Lembaga Administrasi Negara), Balai Diklat Provinsi/Kabupaten/Kota, dll. Untuk kalangan militer berbeda lagi, ada Akademi Militer, Akademi Kepolisian, dll. Tapi menurut saya hal ini bisa banyak positifnya karena pengembangan bisa dilakukan intensif oleh masing-masing bidang.
Selanjutnya?

Menimbang itu semua, pola pengurusan pendidikan vokasi 2 jalur ini sangat perlu dievaluasi dan diperbaiki. Saya pikir bahkan kita harus berpikir jauh seperti membuat kementerian sendiri yang mengurusi pendidikan dan pelatihan vokasi. Bisa juga dibentuk adanya dewan pendidikan vokasi nasional atau daerah yang menentukan kebijakan, melakukan enforcement dan menjadi koordinator pengembangan pendidikan vokasi.

Bagaimana pendapat anda?

Posting Komentar

0 Komentar