Tes Masuk Perguruan Tinggi di Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman (Studi Komparasi)

Proses seleksi untuk penerimaan (admission atau admisi) di perguruan tinggi berbeda-beda antar satu negara dengan negara lainnya. Namun tujuan utama seleksi tersebut tetap sama yaitu untuk memprediksi kemampuan pendaftar untuk sukses di perguruan tinggi yang dituju.

Stemler (2012) menjelaskan bahwa proses seleksi masuk ke perguruan tinggi paling tidak ditujukan untuk mengukur 3 (tiga) aspek dari calon mahasiswa, yaitu aptitude, ability, dan achievement.

Mengutip Kaplan & Saccuzzo (2009), aptitude dimaksudkan untuk melihat potensi individu untuk belajar dan menguasai ketrampilan tertentu. Tes seperti SAT (Scholastic Aptitude Test) di Amerika Serikat termasuk jenis ini. Tes ini lebih fokus untuk mengetahui potensi masa depan dari pada pencapaian masa lalu dan kemampuan saat ini.

Selanjutnya, ability mengarah pada melihat apa yang dapat dilakukan oleh seseorang pada saat ini, biasanya berupa ketrampilan yang diukur dari kecepatan, akurasi, atau keduanya (dikutip dari Kaplan & Saccuzzo, 2009).

Sedangkan achievement mengacu pada kompetensi yang diperlihatkan (demonstrated competence) atau pencapaian pada bidang tertentu. Bisa juga dilihat dari tingkat pengakuan (recognition) dan keperrcayaan (credential). Nilai pencapaian akademik selama di sekolah menengah, seperti GPA (grade point average), adalah bentuk yang paling sering digunakan untuk mengukur achievement. Hasil tes ACT (American College Testing) juga secara luas dipakai sebagai acuan, ACT adalah tes standar berdasar kurikulum SMA, sering disebut sebagai tes “readiness for college” (kesiapan masuk perguruan tinggi).

Berikut dibahas lebih jauh proses admisi di 3 (tiga) negara yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Ketiga negara ini tidak memiliki sistem admisi nasional yang sama dan memiliki keunikan masing-masing.



Amerika Serikat

Proses seleksi masuk perguruan tinggi (admission application process) di Amerika Serikat memiliki perbedaan dan persamaan dengan Indonesia. Tidak ada seleksi bersama secara nasional, tetapi setiap perguruan tinggi melaksanakan sendiri-sendiri.

Secara umum universitas top yang biasa disebut Ivy League (Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, University of Pennsylvania, Princeton University, dan Yale University) mendasarkan seleksi mereka pada beberapa aspek utama yaitu: (1) Hasil tes nasional SAT dan ACT yang bisa diambil oleh siswa SMA pada saat mereka duduk di kelas 11 dan 12; (2) Nilai GPA sejak semester 1 hingga semester 4 atau 5 di SMA berupa rapor dan transkrip; (3) Tulisan college essay yang dibuat oleh siswa sebagai bagian dari formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi; (4) Supplemental application materials seperti karya musik, karya seni, atau karya akademik, materi-materi ini bisa diunggah dalam format video, audio atau gambar; (5) Berbagai informasi lain yang disampaikan di formulir pendaftaran masuk, termasuk minimal 2 (dua) surat evaluasi dari guru.

Pendaftaran dilakukan oleh para siswa di akhir kelas 11 atau awal kelas 12 secara langsung ke perguruan tinggi yang dituju. Pengumuman kelulusan seleksi diberikan menjelang kelulusan dari SMA sekitar bulan Maret (dirangkum dari Harvard College, 2016 dan Princeton University, 2106).

Secara keseluruhan, proses seleksi ini telah memasukkan aspek aptitude (SAT, college essay, surat evaluasi guru), ability (supplemental application materials), dan achievement (rapor, transkrip, ACT).

Dalam laporan ACT College Readiness di tahun 2015, dilaporkan bahwa terdapat 1,9 juta orang mengikuti tes ACT. Jumlah itu adalah 59% dari jumlah seluruh lulusan SMA di tahun yang sama (ACT, 2016). Sementara SAT diikuti oleh 1,7 juta peserta, atau sekitar 52% dari total lulusan SMA (CollegeBoard, 2016). Kedua angka ini adalah statistik untuk Amerika Serikat.

Amerika Serikat tidak memiliki sekolah menengah atas khusus kejuruan atau vokasi, jadi tidak ada padanan untuk SMK. Di tahun terakhir SMA, siswa dapat memilih untuk mengambil program tambahan vokasi agar bisa siap untuk bekerja setelah lulus, atau fokus ke persiapan masuk ke perguruan tinggi (college preparation). Jadi, lulusan SMA bebas memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi umum atau vokasi.

Sebagai perbandingan dapat ditelaah data penerimaan di setiap perguruan tinggi program sarjana (undergraduate) beberapa universitas yang masuk kelompok Ivy League (dapat dilihat di Tabel 1). Total penerimaan mahasiswa baru di seluruh Amerika Serikat diperkirakan 17,3 juta orang untuk program sarjana (NCES, 2016).

Tetapi sistem seleksi di Amerika Serikat tersebut masih memiliki kelemahan dan tetap menimbulkan protes karena prosesnya dianggap terlalu kompleks dan menyulitkan para calon pendaftar, sehingga tingkat keikutsertaan menjadi sangat rendah (Teare, 2015).


Jepang

Kontras dengan Amerika Serikat, negara Jepang memiliki sistem mirip dengan SBMPTN di Indonesia, mereka melakukan tes secara nasional di waktu yang sama dengan soal yang sama di seluruh negeri.

Penyelenggaraan tes dikomandoi oleh National Center for University Entrance Examinations (Daigaku Nyūshi Sentā Shiken) yang berkedudukan di ibukota Tokyo, organisasi ini berada dibawah naungan Kementerian Pendidikan. Tujuan dari tes di Jepang ini adalah untuk asesemen terhadap pencapaian akademik dasar (achievement) dari calon mahasiswa.

Namun, setiap universitas tetap memiliki kriteria masing-masing, dimana dari hasil tes dilakukan perhitungan khusus untuk menentukan ability dan aptitude dari setiap peserta tes untuk lanjut ke perguruan tinggi. Peserta yang lulus tes nasional bisa mengikuti tes tertulis dan wawancara di tingkat universitas, atau menyerahkan nilai rapor di SMA untuk dasar penilaian, tergantung kebijakan masing-masing institusi tujuan. Universitas kemudian menentukan kelulusan penerimaan dari peserta tes.

Jepang memiliki sekolah menengah vokasional yang setara dengan SMK dalam sistem pendidikan mereka, sekolah ini disebut senmon gakkō. Namun tidak ada pengaturan khusus bagi siswa dan lulusannya dalam mengikuti tes seleksi nasional. Mereka diperbolehkan lanjut ke perguruan tinggi jika bisa lulus tes.

Terdapat 9 (sembilan) subject area dari tes yang tidak semua diikuti oleh pendaftar, setiap peserta tes hanya mengambil beberapa subjek sesuai kebutuhan dan ketentuan institusi tujuan.

Tes tahun 2015 diikuti oleh lebih dari 530 ribu peserta. Pelaksanaan tes dilakukan dengan panitia bersama di test center universitas-universitas yang ikut berpartisipasi (NCUEE, 2015). Tes ini dilaksanakan serentak di bulan April setiap tahun dan menjadi perhatian nasional karena dipersepsikan sebagai ajang bergengsi untuk masuk ke perguruan tinggi top yang sangat kompetitif (Nippon.com, 2015).

Metode seleksi seperti ini menjadi sangat ringkas dan efisien karena hanya menggunakan satu kali tes, tetapi hasil tes dapat disimulasikan untuk mendapat hasil yang disesuaikan dengan kriteria universitas penerima. Namun pengembangan alat tes serta sistem interpretasi hasil tes menjadi sangat kompleks dan rumit. Kelemahan lain dari sistem ini adalah karena jalur masuk ke universitas hanya dapat dilakukan melalui tes tahunan tersebut, maka banyak lulusan SMA yang mengalami tekanan mental karena tidak lulus tes ke universitas top tetapi tetap tidak ingin masuk perguruan tinggi alternatif. Fenomena di Jepang ini sering disebut sebagai “neraka ujian” (examination hell).

Jerman

Republik Federal Jerman memiliki 3 (tiga) jenis perguruan tinggi yaitu: (1) Universitas atau sekolah tinggi (hochschulen) umum (seperti universitas/sekolah tinggi teknik, sekolah tinggi pendidikan, sekolah tinggi teologi dan lain-lain); (2) Fachhochschulen atau sekolah tinggi bidang sains terapan atau riset terapan; dan (3) Perguruan tinggi seni dan musik.

Berikut penjelasan tentang proses penerimaan di perguruan tinggi di Jerman dari buku The Education System in the Federal Republic of Germany yang diterbitkan oleh Secretariat of the Standing Conference of the Ministers of Education and Cultural Affairs of the Länder in the Federal Republic of Germany (2014).

Jerman tidak memiliki tes masuk bersama secara nasional ke perguruan tinggi. Seleksi masuk yang dilakukan menggunakan sistem yang sederhana. Seluruh calon mahasiswa harus telah lulus ujian Abitur, yaitu ujian yang dilaksanakan setelah siswa di sekolah Jerman menyelesaikan 12 tahun pendidikan dasar dan menengah umum di SMA (disebut Gymnasium) atau jenis sekolah umum lain. Ujian Abitur ini mencakup materi sesuai kurikulum di sekolah dan aptitude test.

Hasil ujian Abitur digabung dengan nilai selama di sekolah menghasilkan Allgemeine Hochschulreife (kualifikasi masuk perguruan tinggi umum). Pemegang kualifikasi ini berhak masuk ke seluruh jenis perguruan tinggi di Jerman.

Namun ada juga kualifikasi lain yaitu Fachgebundene Hochschulreife (kualifikasi masuk perguruan tinggi terbatas untuk suatu program studi). Pemegangnya hanya dapat melanjutkan ke prodi di perguruan tinggi yang sesuai kualifikasinya. Kualifikasi ini didapat dari ujian Fachabitur (ujian Abitur khusus vokasi) ditambah ujian kompetensi sesuai bidang di sekolah menengah vokasional seperti Fachoberschule (setara SMA kelas 11 dan 12) dan Berufsfachschulen (sekolah vokasi full-time berdurasi 2-3 tahun).

Pemegang kedua kualifikasi diatas otomatis bisa langsung diterima di perguruan tinggi pilihannya. Namun, karena ada program studi yang dibatasi kuota, baik kuota secara nasional maupun kuota lokal, maka pemerintah federal membentuk Kantor Pusat Pengalokasian Kuota Studi yang pada tahun 2010 diubah namanya menjadi Badan Penerimaan Perguruan Tinggi (disingkat SfH). Badan ini mengatur pengisian kuota menggunakan aplikasi online untuk menjamin transparansi di http://hochschulstart.de.

Kriteria penilaian diambil dari nilai kualifikasi yang dimiliki, lama waktu tunggu masuk ke prodi yang dituju, dan tes masuk di masing-masing universitas yang dituju (jika ada). Sekolah tinggi juga dapat menggunakan kriteria masing-masing sesuai kebutuhan, namun harus dijelaskan secara transparan.
Ada banyak prodi lain yang tidak memiliki batasan kuota dimana pendaftar bisa langsung diterima menggunakan kualifikasi yang ditentukan. Khusus untuk sekolah tinggi seni dan musik ada tambahan kriteria yaitu tes artistic aptitude.

Sistem di Jerman ini termasuk sederhana, titik sentralnya adalah ujian di tingkatan sekolah menengah setara UN di Indonesia (disebut Abitur), serta Abitur ditambah uji kompetensi vokasi setara Uji Kompetensi Keahlian (UKK) untuk SMK (disebut Fachabitur).

Hasil ujian ini dipakai sebagai tiket masuk ke perguruan tinggi. Walau dalam praktiknya menjadi lebih rumit karena adanya batasan kuota yang harus dikelola tersendiri oleh pemerintah pusat, namun cara Jerman ini termasuk sederhana.

Rerefensi:
  1. CollegeBoard. (2016). SAT Program Participation and Performance Statistics.  The College Board. Diambil pada tanggal 18 Januari 2016, dari http:// research.collegeboard.org/programs/sat/data
  2. Columbia University. (2016). Class of 2019 Profile. Office of Undergraduate Admissions, Columbia University. Diambil pada tanggal 26 Januari 2016, dari http://undergrad.admissions.columbia.edu/classprofile/2019
  3. Cornell University. (2016). Facts About Cornell. Undergraduate Admissions Office, Cornell University. Diambil pada tanggal 26 Januari 2016, dari http://admissions.cornell.edu/facts-about-cornell
  4. Harvard University. (2016). Harvard College Admissions & Financial Aid. Harvard College, Harvard University. Diambil pada tanggal 25 Januari 2016, dari https://college.harvard.edu/admissions
  5. NCES. (2016). Fast Facts: Back to school statistics. National Center for Education Statistics (NCES), U.S. Department of Education. Diambil pada tanggal 27 Januari 2016, dari http://nces.ed.gov/fastfacts/display.asp?id=372
  6. NCUEE. (2015). 2015 Fiscal Year Report. National Center for University Entrance Examinations. Diambil pada tanggal 25 Januari 2016, dari http://www.dnc.ac.jp
  7. Nippon.com. (2015). University Entrance Examinations, A Key Life Stage for Young Japanese. Nippon.com. Diambil pada tanggal 25 Januari 2016, dari http://www.nippon.com/en/features/jg00032/
  8. Princeton University. (2016). Undergraduate Admission. Undergraduate Admission Office, Princeton University. Diambil pada tanggal 25 Januari 2016, dari https://admission.princeton.edu/
  9. Secretariat of the Standing Conference. (2014). The Education System in the Federal Republic of Germany 2012/2013. Ständige Konferenz der Kultusminister der Länder in der Bundesrepublik Deutschland (Secretariat of the Standing Conference,  Ministers of Education and Cultural Affairs, Länder in the Federal Republic of Germany). Diambil pada tanggal 28 Januari 2016, dari www.kmk.org
  10. Teare, C. (2015). The Debate Over The College Admissions Process. Forbes. Diambil pada tanggal 25 Januari 2016, dari http://www.forbes.com/sites/ christeare/2015/12/26/the-debate-over-the-college-admissions-process
  11. University of Pennsylvania. (2016). Incoming Class Profile, Statistics for the Class of 2019. Office of Admissions, University of Pennsylvania. Diambil pada tanggal 26 Januari 2016, dari http://www.admissions.upenn.edu/apply/ whatpennlooksfor/incoming-class-profile

Posting Komentar

0 Komentar