Dalam konteks ini istilah work-based learning (WBL) atau pembelajaran berbasis kerja digunakan untuk menggambarkan suatu program di perguruan tinggi yang mempertemukan lembaga pendidikan tinggi dengan organisasi kerja untuk menciptakan kesempatan belajar baru di tempat kerja. Program ini harus memenuhi kebutuhan peserta didik, agar bisa berkontribusi pada pembangunan jangka panjang dari organisasi dan secara resmi terakreditasi sebagai program perguruan tinggi. Ringkasan ini didapat dari Boud dan Solomon (2001) yang berlatar belakang Inggris Raya. Judul buku adalah "Work-Based Learning: A New Higher Education?" atau "Pendidikan Berbasis Kerja: Sebuah Pendidikan Tinggi Baru?"
Enam Karakteristik WBL
Program penempatan kerja dan sandwich, para siswa menghabiskan waktu yang panjang dalam situasi kerja nyata; program sandwich juga disebut program pendidikan kerjasama.
Pembelajaran independen dan pembelajaran yang dinegosiasikan. Kembali di tahun 1970-an beberapa lembaga di Eropa, Inggris dan Amerika Serikat mulai menawarkan pendidikan universitas dimana mahasiswa dapat membuat program gelar mereka sendiri. Program yang diambil harus dinegosiasikan dan bukan ditentukan terlebih dahulu.
Kompetensi dan kemampuan dasar umum, hal ini berawal dari keluhan pengusaha bahwa lulusan perguruan tinggi masih memiliki kekurangan dalam keterampilan dasar yang umum seperti komunikasi, kerja tim dan perencanaan diri, kompetensi dan kemampuan dasar umum. Maka program seperti ini harus membuat program khsusu untuk memperbaiki kekurangan dalam hal ini.
Akses dan akreditasi terhadap pengalaman belajar sebelumnya. Perguruan tinggi harus sadar bahwa mereka harus membuat unit baru yang tidak sesuai dengan yang ada di struktur, kemudian harus berhubungan dengan organisasi lain, melakukan negosiasi pengaturan masa transisi pembelajaran dan mengembangkan cara-cara untuk menilai prestasi belajar mahasiswa dari manapun mereka memperolehnya.
Tenaga kerja dan pembelajaran. Gagasan bahwa pembelajaran harus dikaitkan dengan dunia pekerjaan memiliki akar filosofis dari JJ Rousseau, John Locke dan John Dewey. Mereka berpendapat bahwa tema kerja dapat dan harus menjadi prinsip pengorganisasian kurikulum. Dalam konteks ini para peserta didik adalah orang-orang yang benar-benar pekerja, mereka adalah "pekerja-pembelajar".
Enam Karakteristik WBL
- Sebuah kemitraan antara organisasi eksternal dan sebuah lembaga pendidikan yang khusus didirikan untuk membantu pembelajaran. Kemitraan ini diformalkan melalui kontrak (paling tidak dengan MoU).
- Para mahasiswa yang terlibat adalah karyawan dari organisasi eksternal, suatu kelompok mungkin ditargetkan sesuai dengan prioritas organisasi. Peserta didik menegosiasikan rencana belajar dan disetujui oleh kedua pihak yaitu lembaga pendidikan dan organisasi tempat mereka bekerja.
- Program berasal dari kebutuhan tempat kerja, peserta didik tidak dikendalikan oleh kurikulum profesi atau disiplin ilmu tertentu. Pekerjaan mereka adalah kurikulum itu sendiri.
- Titik awal dan tingkat program ini ditentukan setelah peserta didik telah mendapatkan pengakuan atas kompetensi saat ini dan identifikasi pembelajaran yang diinginkan. Penentuan tingkat bukan atas dasar kualifikasi pendidikan peserta yang sudah ada.
- Unsur penting WBL adalah bahwa proyek-proyek pembelajaran dilakukan di tempat kerja dan berorientasi pada kebutuhan masa depan para mahasiswa dan organisasinya. Peserta didik belajar dan mendapatkan saran/dukungan dari dalam organisasi dan dari lembaga pendidikan di mana mereka terdaftar.
- Lembaga pendidikan melakukan penilaian atas hasil pembelajaran sesuai kesepakatan awal atas sasaran program, dan disesuaikan dengan standar kerangka kerja dan tingkat yang berlaku.
Program penempatan kerja dan sandwich, para siswa menghabiskan waktu yang panjang dalam situasi kerja nyata; program sandwich juga disebut program pendidikan kerjasama.
Pembelajaran independen dan pembelajaran yang dinegosiasikan. Kembali di tahun 1970-an beberapa lembaga di Eropa, Inggris dan Amerika Serikat mulai menawarkan pendidikan universitas dimana mahasiswa dapat membuat program gelar mereka sendiri. Program yang diambil harus dinegosiasikan dan bukan ditentukan terlebih dahulu.
Kompetensi dan kemampuan dasar umum, hal ini berawal dari keluhan pengusaha bahwa lulusan perguruan tinggi masih memiliki kekurangan dalam keterampilan dasar yang umum seperti komunikasi, kerja tim dan perencanaan diri, kompetensi dan kemampuan dasar umum. Maka program seperti ini harus membuat program khsusu untuk memperbaiki kekurangan dalam hal ini.
Akses dan akreditasi terhadap pengalaman belajar sebelumnya. Perguruan tinggi harus sadar bahwa mereka harus membuat unit baru yang tidak sesuai dengan yang ada di struktur, kemudian harus berhubungan dengan organisasi lain, melakukan negosiasi pengaturan masa transisi pembelajaran dan mengembangkan cara-cara untuk menilai prestasi belajar mahasiswa dari manapun mereka memperolehnya.
Tenaga kerja dan pembelajaran. Gagasan bahwa pembelajaran harus dikaitkan dengan dunia pekerjaan memiliki akar filosofis dari JJ Rousseau, John Locke dan John Dewey. Mereka berpendapat bahwa tema kerja dapat dan harus menjadi prinsip pengorganisasian kurikulum. Dalam konteks ini para peserta didik adalah orang-orang yang benar-benar pekerja, mereka adalah "pekerja-pembelajar".
0 Komentar