Kebijakan Publik Bidang Pendidikan di Indonesia

Ganti Menteri maka akan segera diikuti dengan ganti kebijakan? Pandangan seperti ini seakan sudah menjadi hal biasa di negeri kita. Padahal secara manajemen, kesinambungan strategi dan pengelolaan organisasi mutlak diperkukan agar sasaran bisa tercapai. Fenomena ini bisa diterangkan secara ilmu manajemen dan ilmu kebijakan publik. Ada 2 aspek yang saya coba analisis berkenaan dengan fenomena ini, saya coba jabarkan dalam bentuk yang sederhana.


Kepentingan Politik dan Proses Pembuatan Kebijakan

Pergantian Menteri di Indonesia dilaksanakan seiring pergantian Presiden yaitu setiap 5 tahun sekali. Namun dalam keadaan tertentu, jabatan Menteri bisa lebih pendek tergantung pada keputusan Presiden. Jabatan Menteri adalah jabatan politis, artinya bukan jabatan karir yang memerlukan persyaratan jenjang karir tertentu yang cukup ketat. Jabatan Menteri bisa diisi oleh siapapun yang dianggap mampu dan cocok mendudukinya menurut Presiden. Tidak ada keharusan bahwa seorang Menteri yang ditunjuk harus memiliki latar belakang akademis ataupun profesi yang sama dengan Kementerian yang dipimpin.

Karena penempatan pejabat Menteri ini sarat dengan berbagai pertimbangan politis, maka ada banyak konsekuensi bagi Menteri yang kemudian dipilih memegang jabatan. Menteri tidak dapat bersikap murni independen karena dibebani dengan berbagai “pesan sponsor” yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemungkinan besar faktor inilah yang mengakibatkan Menteri baru cenderung memiliki kebijakan baru pula. Ada kepentingan-kepentingan baru yang mempengaruhi keputusan pengambilan kebijakan baru sehingga menjadi berbeda dengan kebijakan yang lama.


Dalam teori manajemen, proses pembuatan kebijakan memang mengenal adanya unsur “interest group” dan “pressure group”. Interest group adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas kebijakan, dan pressure group adalah kelompok yang melakukan tekanan terhadap pembuat kebijakan karena berbagai alasan. Kedua kelompok ini ikut mempengaruhi seorang pejabat pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan. Pengaruh tersebut bisa baik dan bisa pula buruk dalam arti dapat memaksa pembuat kebijakan melakukan tindakan diluar hukum atau diluar garis kewajaran.

Interest group dan pressure group ini harus dapat dikendalikan, baik secara personal & organisasional oleh sang Menteri langsung, maupun secara sistemik oleh sistem kerja pemerintahan (misalnya dengan pola check & balance dengan lembaga yudikatif). Jangan sampai ada keputusan-keputusan "kebablasan" yang bisa dengan mudahnya diluncurkan dan tidak bisa dikontrol sama sekali. Tidak bisa diabaikan juga adalah peran masyarakat sendiri serta pers yang harus selalu bertindak sebagai "watch dog" para Menteri.

Struktur Kebijakan

Kebijakan dari pejabat Menteri baru idealnya tidak bisa melenceng terlalu jauh dari batas kewajaran, apalagi sampai bertentangan dengan aturan dan perundangan yang berlaku, atau bertentangan dengan kebijakan pejabat lama (selama kebijakan lama tidak salah atau merugikan kepentingan negara atau rakyat).

Pengambilan keputusan yang ideal haruslah memperhatikan struktur kebijakan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Kebijakan yang diambil oleh seorang Menteri harus sejalan dengan UUD 1945, UU, RPJM dan Renstra yang berkenaan dengan Kementerian bersangkutan. Artinya tidak diperkenankan ada kebijakan yang menyimpang dari pedoman diatasnya.

Kemudian pengambilan kebijakan juga harus mentaati prosedur dan kesepakatan umum atas proses pembuatan kebijakan sbb:
  • Proses pembuatan kebijakan menggunakan prosedur/aturan yang telah disepakati,
  • Proses pembuatan kebijakan dilakukan secara transparan dan demokratis dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat yang akan melaksanakan dan dikenai kebijaksanaan tersebut,
  • Proses pembuatan kebijakan berpedoman pada kebijaksanaan diatasnya, dan tidak bertentangan dengan kebijaksanaan yang setingkat,
  • Proses pembuatan kebijakan didasarkan pada data yang lengkap, valid, reliable, obyektif dan up to date,
  • Kebijakan yang telah dirumuskan memiliki nilai multiplier effect yang berkelanjutan.
Namun dalam kenyataannya memang tidak semua prosedur diatas bisa dipenuhi dan dilaksanakan. Karena lemahnya sistem birokrasi pemerintah, bisa terjadi dimana proses diatas tidak dilaksanakan namun kebijakan tetap bisa dibuat dan diimplementasikan. Bisa pula kebijakan baru yang muncul tidak bisa menjalani semua langkah diatas karena keterbatasan waktu dimana kebijakan harus dibuat secepatnya serta adanya tingkat urgensi yang mendesak.

Untuk menjamin adanya “check and balance” dalam proses pembuatan kebijakan di lingkungan pemerintahan, seluruh warga negara dapat ikut melakukan pemantauan dan koreksi terhadap kebijakan yang tidak seuai presedur dalam proses pembuatannya, atau atas kebijakan yang melenceng dari kepentingan publik. Berikut adalah beberapa kriteria kebijakan yang baik sebagai acuan kita semua:
  • Kebijakan yang dirumuskan berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
  • Rumusan kebijakan jelas, mudah diimplementasikan dan mudah dikontrol,
  • Kebijakan yang dirumuskan feasible (memperhatikan dengan sumber daya yang tersedia),
  • Kebijakan yang dirumuskan bersifat adil, tidak memihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Jika ada kebijakan publik yang tidak memenuhi kriteria diatas, silahkan diajukan ke pihak terkait untuk dapat dievaluasi bahkan dikoreksi.

Dalam konteks kebijakan pendidikan Indonesia, ada banyak sekali kasus dimana kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah ternyata menyimpang jauh dari prinsip-prinsip proses pengambilan kebijakan yang baku. Adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk melurusannya dan menjadikannya sebagai kebijakan pendidikan yang pro-rakyat.


Posting Komentar

0 Komentar