Pembiayaan Pendidikan Vokasi dan Contoh Kasus Beberapa Negara

Pembiayaan pendidikan adalah salah satu isu menarik dan penting dalam membangun pendidikan suatu bangsa. Kali ini saya mencoba menarik beberapa aspek esensial berkenaan pembiayaan pendidikan vokasi dan teknik yang ditulis dalam laporan proyek UNEVOC (International Project on Technical and Vocational Education) dari UNESCO tahun 1996. Laporan ini diberi judul Financing Technical and Vocational Education: Modalities and Experiences.


Hampir seluruh negara di dunia menganut konsep pembiayaan pendidikan yang disediakan pemerintah dan swasta. Alokasi anggaran pendidikan di tiap negara berkisar 3-8 % dari PNB (pendapatan nasional bruto).

Biaya pendidikan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun karena semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan pendidikan, peningkatan gaji guru, tidak efisiennya penggunaan sumber daya yang ada, pertumbuhan penduduk yang menciptakan kebutuhan baru terhadap pendidikan, tingkat pengangguran dari para lulusan sekolah, peningkatan biaya lahan dan gedung, dll.

Reformasi pembiayaan pendidikan harus dilakukan untuk mengatasinya, diantaranya dengan membebankan biaya pendidikan pada peserta didik karena kurangnya dana publik, pengelolaan dana pendidikan yang lebih efisien, pencarian sumber pendanaan swasta, pelibatan masyarakat, korporasi dan bantuan asing.

Pembiayaan pendidikan vokasi (selanjutnya disingkat PTK) lebih tinggi 2-3 kali lipat dibanding pendidikan umum, padahal daya tampung kelas lebih sedikit serta kebutuhan pendidik dan instruktur lebih banyak dengan rasio pendidik/peserta didik mencapai 1:7. Biaya PTK juga lebih tinggi karena tingginya anggaran untuk peralatan, infrastruktur dan operasional seperti bahan/alat praktek dan suku cadang pendukung.

Reformasi untuk mencari lebih banyak alternatif pendanaan PTK adalah suatu keharusan, disamping peningkatan efisiensi pengelolaan PTK.

Di Jerman, sejak abad 12, seseorang diperkenankan untuk menjalankankan suatu pekerjaan atau profesi jika telah lulus program pemagangan dengan seorang master atau ahli. Setelah magang dan mulai bekerja sebagai pemula, ahli tetap harus mendampingi. Para ahli dalam satu bidang pekerjaan atau profesi tertentu bersatu dalam suatu asosiasi dan secara perlahan membangun suatu sistem pelatihan yang lebih tertata rapi. Tanggung jawab PTK di Jerman ada pada asosiasi-asosiasi seperti ini, dan mereka juga yang menetapkan aturan-aturan berkenaan dengan pekerjaan dan profesi mereka.

Konsep magang tradisional seperti itu juga terdapat di negera berkembang seperti di India, Indonesia, dll. Para pemagang sejak usia dini sudah belajar secara langsung (on the job) pada para ahli. Dalam banyak kasus, para pemagang ini hidup mengabdi pada para ahli. Ada semacam harmoni dimana kehidupan, belajar dan bekerja berjalan sebagai suatu kesatuan tak terpisahkan.

Pemagangan tradisional seperti itu adalah pemandangan biasa di banyak negara berkembang. Pemagang usia muda antara 10-20 tahun langsung dilatih oleh para ahli dalam berbagai bidang seperti reparasi motor, bengkel mobil, dll. Pada awal magang, biasanya pemagang tidak digaji, namun seiring waktu gaji dinaikkan sedikit demi sedikit. Pembiayaan pendidikan vokasi seperti ini pada prinsipnya adalah tanggung jawab pemilik usaha dengan menyediakan pelatihan murah serta para pemagang dengan kesediaan menerima gaji rendah.

Namun mekanisme pembiayaan pendidikan (termasuk PTK) di masa modern mulai berubah, tanggung jawab pemerintah semakin besar. Kebijakan pembangunan PTK disesuaikan dengan kebijakan sosial, ekonomi dan ketenagakerjaan pada suatu wilayah.

Namun karena terbatasanya kemampuan pemerintah membiayai, maka sangat penting untuk mencari suatu sumber daya lain untuk mendukung pendidikan, khususnya PTK. Setiap negara wajib mengkaji ulang kebutuhan dan prioritas pendidikannya dan membangun strategi pembiayaan sesuai keadaan masing-masing.

Dari studi UNESCO, ada beberapa model pembiayaan pendidikan khususnya PTK, yaitu:
- pembiayaan publik
- pembiayaan perusahaan
- pembiayaan swasta & publik
- bantuan asing.

Berikut beberapa contoh kasus pembiayaan pendidikan vokasi di beberapa negera sebagai referensi.

Jepang

Jepang dikenal dengan dengan keberadaan pelatihan vokasi yang diselenggarakan sendiri oleh perusahaan swasta skala besar. Perusahaan lebih senang merekrut lulusan sekolah umum dan mengembangkannya sendiri didalam perusahaan. Orang Jepang umumnya sangat loyal terhadap tempat kerjanya, sebagian besar pekerja disana bekerja sepanjang hidupnya di satu institusi. Hal ini membuat perusahaan tidak ragu untuk berinvestasi dalam bentuk pelatihan atau pengembangan SDM bentuk lain.

Data tahun 1980 menunjukkan bahwa 85% dari seluruh pekerja di Jepang bekerja di sektor industri swasta, 30% bekerja di perusahaan besar. Pembiayaan pelatihan dalam industri sepenuhnya dibayai oleh perusahaan, terutama yang berskala besar.

Perusahaan kecil mengandalkan fasilitas diluar perusahaan mereka dan pembiayaan didapat dari asuransi pekerja/pengangguran). Asuransi ini mendapat masukan premi separuh dari pemerintah dan separuh pekerja.

Pelatihan vokasi juga dilakukan diluar perusahaan dalam bentuk sekolah-sekolah vokasi khusus yang dijalankan berbagai kementrian. Juga ada sekolah vokasi swasta yang menawarkan berbagai program dengan durasi bermacam-macam serta ada yang diselenggarakan siang dan malam. Sekolah-sekolah ini mendapat bantuan pemerintah jika berorientasi nirlaba.

Japan Industrial and Vocational Training Association (JIVTA) adalah organisasi utama di Jepang yang bergerak dibidang pelatihan didalam industri. JIVTA adalah asosiasi independen dibawah koordinasi Kementrian Perdagangan Internasional & Industri. JIVTA terbentuk dari 1000 perwakilan perusahaan, 60% dari perusahaan besar, 40% dari perusahaan kecil. Pemerintah tidak menyediakan dana untuk asosiasi ini. Dana didapat dari iuran anggota (25%) dan dari fee pelatihan (75%).

Dalam 30 tahun terakhir, JIVTA telah melatih 30 ribu orang sebagai training leader yang kemudian melatih lagi lebih dari 1 juta peserta pelatihan dari industri masing-masing.

Bagian penting dari kasus di Jepang adalah adanya kesadaran yang tinggi dari individu dan perusahaan bahwa pelatihan adalah investasi masa depan. Ini berakar dari kultur Buddha, Konghucu dan Shinto. Budaya ini mengajarkan individu dan organisasi untuk selalu mencapai standar yang tinggi dalam pekerjaan melalui kerja keras dan kesetiaan tinggi terhadap sekolah/guru, keluarga dan majikan.

Korea Selatan

Korea Selatan telah memiliki Undang-Undang Dasar tentang Pelatihan Vokasi yang diundangkan tahun 1976. UUD ini mewajibkan perusahaan dengan karyawan lebih dari 300 orang untuk menyelenggarakan pelatihan dalam perusahaan (in plant training). Jika tidak maka mereka harus membayar denda pelatihan yang didasarkan pada persentase biaya gaji perusahaan yang berkisar antara 1-3,9%. Sama seperti Jepang, Korea adalah salah satu negara di Asia yang sangat peduli pada pentingnya pelatihan sebagai investasi masa depan. Korea juga sangat tergantung pada perusahaan besar dalam melaksanakan pelatihan bagi tenaga kerja. Hanya sedikit peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelatihan bagi perusahaan-perusahaan kecil.

Amerika Latin

Di negara-negara Amerika Latin seperti Brazil, Colombia, Venezuela dan Peru, pemerintah mengutip pajak pendapatan bagi seluruh pekerja serta juga memberlakukan pajak khusus yang dikenakan pada perusahaan untuk membiayai pelatihan kerja dan pemagangan. Pada tahun 1987, VTI (Vocational Training Institute) di 12 negara Amerika Latin telah berhasil melatih lebih dari 3 juta orang yang sebanding dengan 37% dari penerimaan siswa sekolah menengah disana.

Prancis

Negara Prancis memiliki sistem yang komprehensif dalam membiayai pelatihan vokasi. Ada 3 strategi yang diterapkan, yaitu:

(1) Pendapatan pajak umum digunakan untuk membiayai pendidikan vokasi jenjang menengah bagi calon tenaga kerja baik di institusi negeri maupun swasta. Untuk PTK saja mencapai 1,5% dari angka PDB (Pendapatan Domestik Bruto).

(2) Penerapan Pajak Wajib Pemagangan dimana perusahaan membayar pajak 0,6% dari total pengeluaran gaji karyawan. Dari pajak tersebut hanya 0,1% yang disimpan oleh pemerintah untuk melatih generasi muda usia 16-25 tahun, sedangkan 0,5% dialokasikan untuk dewan ketenagakerjaan daerah. Sisanya dipakai untuk pembiayaan program pemagangan dan pelatihan karyawan baru secara nasional.

(3) Perusahaan yang memiliki karyawan lebih dari 9 orang wajib membayar pajak pelayanan sebesar 1,2% dari total pengeluaran gaji karyawan. Sumber ini dipakai untuk membiayai berbagai pelatihan (in-house dan pre-employment).

Jerman

Di Jerman, lebih dari 2/3 anak usia 16-19 tahun mendapatkan pelatihan yang disebut dual training system. Dalam sistem ini, siswa sekolah vokasi memiliki 2 tempat belajar, sekolah mereka dan perusahaan/indutri. Pelatihan sistem ganda ini diatur oleh peraturan tersendiri yaitu UU Pelatihan Vokasi yang diterbitkan tahun 1969.

Dalam sistem ini, siswa belajar 1 atau 2 hari materi pelajaran umum di sekolah, sisanya dalam seminggu dihabiskan dengan sistem "on the job" di perusahaan. Pelatihan seperti ini biasanya berlangsung selama 3,5 tahun hingga siswa mendapat sertifikat kompetensi dan siap mendapat pekerjaan sebenarnya. Sistem ini menghasilkan lulusan dengan kualitas tinggi karena sesuai dengan kebutuhan industri.

Pembiayaan pelatihan sistem ganda ini disediakan oleh pemerintah federal (pusat) dan daerah untuk bagian pendidikan di sekolah, sementara biaya pelatihan dan pemagangan di perusahaan ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan tidak wajib berpartisipasi dalam sistem ganda ini, namun terbukti bahwa sebagian besar perusahaan mendapat banyak keuntungan ekonomis dengan melaksanakan pelatihan bagi calon karyawan mereka sendiri.

Di Jerman sendiri pembiayaan di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi mencapai total 1,85% dari PDB pada tahun 1992.

Posting Komentar

0 Komentar