Dikotomi Liberal dan Vokasi di Jenjang Pendidikan Menengah

Pendidikan liberal adalah suatu konsep pendidikan yang diarahkan untuk menyiapkan generasi manusia yang “bebas.” Pendidikan liberal adalah suatu filosofi pendidikan yang memberdayakan manusia dengan pemberian pengetahuan dan ketrampilan dalam arti luas, memberikan tekanan pada penguatan peserta didik dengan nilai-nilai, etika dan keterlibatan dalam masyarakat. Pendidikan liberal umumnya fokus pada satu bidang akademik tertentu serta memiliki kurikulum yang bersifat umum dan multi disiplin serta menggunakan berbagai strategi belajar.


Filosofi pendidikan liberal dikembangkan di abad ke-19 oleh para pemikir seperti John Henry Newman, F.D. Maurice dan Sir Wilfred Griffin Eady. Filosofi ini menekankan bahwa pendidikan liberal adalah suatu pendidikan yang murni untuk pendidikan dan bertujuan menanamkan nilai-nilai hakiki kehidupan pada generasi muda, terutama pada pengembangan kemampuan critical thinking and analytical skills.


Pendidikan vokasi adalah suatu konsep pendidikan yang menyiapkan para peserta didik untuk mampu bekerja dan siap masuk ke suatu bidang pekerjaan tertentu dalam dunia kerja. Pendidikan model ini bisa dimulai di jenjang pendidikan menengah ataupun jenjang pendidikan tinggi.

Jerman mulai merubah orientasi pendidikannya kearah pendidikan vokasi atau pendidikan profesional pada abad ke-19. Banyak universitas di Jerman yang menyediakan berbagai program yang sangat spesifik pada jenis pekerjaan tertentu. Kurikulum dalam program seperti itu sudah sangat sedikit mengajarkan materi yang bersifat umum dan multi disiplin, namun fokus pada ketrampilan teknis dan prosedur kerja pada bidang pekerjaan tertentu.

Hal sebaliknya terjadi di Amerika Serikat yang lebih percaya pada pendidikan yang bersifat liberal. Diawal abad ke-20 college dan universitas di Amerika Serikat mensyaratkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah yang bersifat umum pada 1-2 tahun awal perkuliahan. Program dasar seperti konsep humanistik harus diambil oleh para mahasiswa tingkat awal.

Sebuah penelitian dari Fong (2004) mendapati fakta bahwa 30% lulusan college di Amerika Serikat bekerja pada suatu jenis pekerjaan yang belum ada pada saat mereka kuliah. Artinya perkembangan dunia kerja begitu dinamis sehingga jenis-jenis pekerjaan berkembang pesat dan sulit diprediksi. Amerika Serikat memilih pendekatan pendidikan liberal untuk menyiapkan fondasi bagi generasi muda agar memiliki kemampuan dasar beradaptasi menghadapi masa depan yang tidak bisa diprediksi.

Pada prinsipnya penulis tidak setuju dengan adanya pendidikan vokasi di jenjang pendidikan menengah atas. Sistem pendidikan di Indonesia memiliki SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang masuk dalam kategori ini. Sebaiknya pendidikan vokasi dimulai pada jenjang perguruan tinggi dalam hal ini melalui jalur Diploma. Pendidikan dasar dan menengah diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik dengan kurikulum multi disiplin dan bersifat luas. Penanaman nilai-nilai kehidupan, penumbuhkembangan ketrampilan berpikir analitis dan kritis serta pengembangan kreatifitas adalah hal yang jauh lebih penting dan bermakna bagi para peserta didik usia 15-19 tahun yang ada di SMA dan SMK.

Berikut penjelasan lebih rinci dari ketidaksetujuan penulis atas penerapan konsep pendidikan vokasi di jenjang pendidikan menengah atas.
  • Tingkat Kedewasaan Siswa. Usia siswa SMA/SMK secara psikologis adalah periode pubertas dan adolesen. Ini adalah masa kritis dalam kehidupan yang menjadi jembatan antara kehidupan kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa ini pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologis belum tercapai sepenuhnya. Masa seperti ini sebaiknya anak diberi dasar pendidikan umum dan pembentukan sikap perilaku, bukannya dijejali dengan “pekerjaan” yang membutuhkan tanggung jawab dan komitmen tinggi. Di SMK bahkan siswa diwajibkan untuk magang langsung dalam dunia orang dewasa di industri, padahal usia mereka masih sangat muda. Hal ini sangat riskan dan bisa menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan mereka di kemudian hari. 
  • Tabrakan Kurikulum. Kurikulum SMA dibuat agar siswa bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dengan bekal fondasi keilmuan esensial seperti matematika, sains dan ilmu sosial. Namun pada SMK, ada banyak overlapping antara kurikulum yang dipakai dengan jenjang pendidikan vokasi yang lebih tinggi. Ini menyebabkan banyak mahasiswa politeknik harus mengulang pelajaran yang telah mereka dapatkan di SMK.
  • Pasar Kerja yang Dinamis. Indonesia adalah negeri yang industrinya mayoritas bersifat non-formal. Industri jenis ini sangat fluid dan dinamis, sangat berbeda dengan industri maju yang lebih sistematis dan terstruktur. Penjurusan yang dibuat di SMK dengan cepat ketinggalan zaman dan sangat sulit menyesuaikan dengan keadaan di lapangan.
  • Rekrutmen Industri. Industri cenderung ingin menerima tenaga kerja yang siap pakai. Namun karena faktor jurusan SMK yang kurang sesuai serta tingkat kedewasaan lulusan SMK yang masih rendah, maka akhirnya industri menurunkan standar penerimaan menjadi “siap latih” yang tentu saja akan meningkatkan biaya rekrutmen.
  • Persaingan Global. Persaingan di pasar kerja global sangat ketat, hanya pekerja profesional yang akan menang. Pekerja lulusan SMK kita umumnya kuat secara teknis namun lemah dalam fondasi keilmuan bidangnya. Hal ini terjadi karena SMK tidak memiliki cukup waktu untuk memberi bekal dalam aspek ini. Sebaiknya usia 15-19 tahun ini dipakai untuk penguatan keilmuan dasar, baru kemudian di usia 20 tahun keatas disiapkan pada segi teknikal sehingga lulusan akan memiliki kedewasaan yang cukup matang.

Posting Komentar

0 Komentar