Salah Kaprah Konsep Lulusan "Siap Pakai"

Apakah tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia? Dari PP 19/2005, tertulis bahwa pendidikan diharapkan dapat memperkuat persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian memberi kesempatan yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan terakhir adalah untuk memungkinkan setiap warga negara mengembangkan potensi diri. Apakah kita sudah sampai di tujuan tersebut? Jawabannya tentu belum. Tapi apakah kita sudah berada di jalan yang benar untuk menuju ke sasaran akhir tersebut? Saya berani katakan belum. Masih ada banyak PR yang harus kita selesaikan, beberapa sangat substansial. Catatan kecil ini tidak akan membahas semua hal tentang pendidikan kita, namun hanya satu aspek krusial, yaitu pada tujuan nomor dua diatas.

Lebih jauh kita coba bahas sedikit tentang seperti apakah profil lulusan yang yang diharapkan dari sistem pendidikan Indonesia. Tanyalah pada orang-orang di sekitar anda, termasuk para guru dan pimpinan sekolah., "Seperti apakah lulusan sekolah yang kita harapkan?"

Jawaban yang keluar pasti sebagian besar adalah lulusan yang "siap pakai" atau "siap kerja", atau bagi para pendidik yang memiliki aliran pendidikan kewirausahaan, mereka akan jawab "siab berwirausaha". Namun sadarkah kita bahwa ternyata bahwa konsep menghasilkan lulusan yang "siap pakai" adalah peninggalan sistem pendidikan zaman penjajahan Belanda, yaitu pendidikan yang diarahkan untuk menyiapkan tenaga kerja kelas rendah seperti mandor perkebunan dan pamong praja untuk kepentingan penjajah.

Kita juga ternyata lupa bahwa bahwa di zaman Orde Baru konsep tersebut sudah dirubah yaitu untuk menghasilkan "manusia seutuhnya". Kemudian di era Reformasi dirubah lagi menjadi pendidikan untuk membentuk "manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan".

Ada perbedaan tingkatan kualitas yang sangat jauh antara istilah "siap pakai" dengan "subyek pembangunan". salah kaprah ini juga yang kemungkinan mendasari kebijakan super aneh dan mendadak untuk membalik rasio siswa SMA vs SMK dari 70:30 menjadi 30:70. Kebijakan yang terus didorong dengan bersemangat oleh pemerintah. Konsep yang secara tidak sadar akan membawa Indonesia masuk ke situasi ala revolusi industri diakhir abad 19. Era dimana angkatan kerja (baca: masyarakat produktif) didominasi oleh kelas pekerja.

Trend ekonomi dunia saat ini adalah pada knowledge economy, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memperbanyak SDM berkualitas "pencipta" dan bukan "pekerja". Pendidikan harus didorong kearah penciptaan knowledge society yang salah satu cirinya adalah dominasi kaum intelektual (baca: sarjana). Perbandingkan ahli (expert) bidang ilmu pengetahuan murni harus seimbang dengan jumlah ahli teknologi terapan (applied technology). Bukan malah dibalikkan agar sebagian besar generasi muda ke bidang kejuruan. Kuncinya adalah keseimbangan dan rasio yang rasional.

Harus diakui bahwa istilah "manusia berbudaya sebagai subyek pembangunan" adalah istilah yang bermakna sangat luas dan bisa menimbulkan multi interpretasi. Namun saya pikir tujuan pendidikan seperti ini harusnya sudah benar dan bisa dijadikan acuan bagi seluruh sistem pendidikan kita. Tentu saja harus ada elaborasi lebih jauh dan rinci atas apa yang akan dituju.

Usul saya, berdasar perkembangan ekonomi dunia saat ini, Indonesia harus mampu bersaing secara global. Konsekuensinya adalah mendorong proporsi sebesar-besarnya agar generasi muda masuk ke perguruan tinggi. Wajib belajar 12 tahun diarahkan pada penyelesaian SMA, SMK diarahkan hanya pada para siswa yang memiliki minat, bakat serta keterbatasan tertentu sehingga diarahkan untuk bisa menguasai applied technology agar bisa survive dalam kehidupan dan berkontribusi pada pembangunan sesuai kapasitasnya.

Kita harus ingat juga bahwa fokus pada pengembangan sekolah-sekolah vokasi atau kejuruan membutuhkan biaya yang sangat besar, jauh lebih tinggi dibanding sekolah umum. Jika biaya ini bisa disebar secara proporsional pada penuntasan wajib belajar 12 tahun dan diarahkan pada penguatan perguruan tinggi, maka  kita akan berada di jalur yang tepat menuju pembentukan knowledge society.

Sebagai referensi, berikut beberapa makna dari istilah yang dipakai diatas adalah sbb:
Knowledge economy (ekonomi pengetahuan) mengacu pada istilah economy of knowledge (ekonomi pengetahuan) yang fokus pada production and management of knowledge (produksi dan manajemen pengetahuan) dalam kerangka ekonomi, atau pada knowledge-based economy (ekonomi berbasis pengetahuan). Dalam makna kedua ini, lebih sering mengacu pada penggunaan teknologi pengetahuan (seperti teknik /engineering dan manajemen pengetahuan) untuk menghasilkan manfaat ekonomi serta penciptaan lapangan kerja. Perbedaan penting adalah bahwa dalam ekonomi pengetahuan, pengetahuan adalah produk, sedangkan dalam ekonomi berbasis pengetahuan, pengetahuan adalah alat. Istilah ini dipopulerkan oleh Peter Drucker sebagai judul Bab 12 dalam bukunya The Age of Discontinuity (Sumber: Wikipedia).
Knowledge economy adalah sebuah sistem konsumsi dan produksi yang didasarkan pada intellectual capital (modal intelektual). Knowledge economy umumnya memainkan peran besar dari semua aktivitas ekonomi di negara-negara maju. Dalam ekonomi pengetahuan, bagian penting dari nilai perusahaan dapat terdiri dari intangible assets (aset non fisik), seperti nilai dari pengetahuan yang dimiliki para pekerja (intellectual capital). Namun, prinsip akuntansi yang berlaku umum tidak memungkinkan perusahaan untuk menyertakan aset seperti ini kedalam neraca (Sumber: Investopedia).

 

Posting Komentar

0 Komentar