Pendidikan dan pelatihan kejuruan adalah jembatan yang menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia kerja. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa pendidikan kejuruan (atau secara umum disebut vokasi) adalah “penghasil” calon pekerja level floor pada bidang teknis bagi organisasi di dunia kerja. Jika memang pekerja ini yang jadi sasaran akhir, maka suatu pendidikan kejuruan harus mengatur strategi sesuai dengan sasaran ini. Namun saya sendiri tidak sependapat dengan pendapat ini.
Bagi saya pendidikan kejuruan tetap haruslah diarahkan menjadi penyedia calon pekerja “entry level”, namun pekerja yang harus siap berkembang menjadi ahli/expert dalam spesialisasi bidang kerja tertentu. Untuk itu maka strategi yang disiapkan harus berbeda dengan yang ada sekarang. Saat ini pada level terbawah pendidikan yaitu SMK serta diatasnya di pendidikan Diploma, para peserta didik “dicekoki” dengan pemahaman bahwa pendidikan kejuruan hanyalah mencetak “pekerja teknis” yang “kalah kelas” dibanding para sarjana pendidikan umum yang memiliki peluang karir lebih luas dan tinggi. Suatu hal yang bisa menimbulkan dampak psikologis kurang baik bagi para lulusan SMK dan Diploma, semacam "inferiority complex".
Karena itu maka strategi penyelenggaraan pendidikan yang diadopsi juga haruslah berbeda. Para peserta didik harus dibentuk agar memiliki kapasitas untuk terus maju dalam mendalami bidang kerja yang dipilih, mereka harus memiliki motivasi dan kreativitas untuk selalu mengembangkan kompetensi mereka hingga akhir hayat (life-long learning principle). Pembekalan teori dasar bidang kerja yang dipilih juga harus kuat, tidak hanya sekedar mengerti prosedur teknis pekerjaan semata.
Tentu saja tidak semua calon peserta didik yang masuk pendidikan kejuruan memiliki mimpi dan pemikiran untuk maju lebih jauh, namun ide dasar pendidikan kejuruan yang hanya berorientasi pada pencetakan tenaga kerja “operator teknis” sungguh absurd. Pendidikan kita akan disalahkan karena akan mencetak generasi “pasif” yang langsung dimasukkan “kotak nasib” tertentu tanpa memiliki peluang untuk maju yang lebih luas. Dalam kenyataan saat ini memang lulusan SMK dan Program Diploma akan selalu kalah bersaing secara jangka panjang dalam dunia kerja.
Untuk mewujudkan pendidikan kejuruan di masa depan yang berorientasi pada spesialisasi kerja seperti saya uraikan diatas, diperlukan perubahan paradigma dasar bagi para pengelola pendidikan kejuruan agar bisa mencapai keadaan itu.
Peserta
Peserta pendidikan kejuruan harus sudah “dikelola” sejak sebelum masuk ke lembaga. Sekitar 1-2 tahun sebelum masuk ke level SMK atau Diploma, para calon peserta didik harus diberi informasi seluas-luasnya mengenai kondisi dunia kerja. Lembaga pendidikan kejuruan harus aktif “reach out” ke sekolah-sekolah “feeder” semacam ini untuk memastikan bahwa para calon siswa mengerti betul pilihan jurusan yang akan diambil sesuai dengan kondisi individu masing-masing. Sekolah-sekolah “pemasok” seperti SMP dan SMA juga harus memiliki organ “bimbingan karir” yang bisa memberi arahan dan bimbingan bagi para siswa untuk dapat memilih jurusan yang terbaik bagi dirinya. Seleksi masuk dan rekrutmen peserta didik di lembaga pendidikan kejuruan tidak boleh menggunakan nilai akademis sekolah pada level sebelumnya sebagai pertimbangan utama, namun 50% pertimbangan harus berasal dari identifikasi minat dan bakat dari calon.
Selanjutnya, peserta didik harus juga harus selalu dievaluasi perkembangan dalam masa pendidikan. Jika memang terjadi deviasi minat dan bakat dalam proses pendidikan, haruslah dicari jalan keluar untuk menyesuaikannya.
Instruktur/Pelatih
Keberadaan instruktur, pelatih atau pengajar berkualitas di lembaga pendidikan kejuruan adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Idealnya para penddidik ini haruslah sesuai proporsinya, yaitu lebih besar pendidik yang memiliki latar belakang kompetensi kejuruan. Diutamakan adalah para pendidik yang memiliki pengalaman bekerja di dunia kerja. Tentu saja pendidik seperti ini berharga “mahal” dan harus dibuatkan suatu mekanisme reward yang kompetitif. Idealnya, para pekerja yang ahli dan berpengalaman justru harus menjadi pendidik di dunia pendidikan, ini harus dijadikan tujuan dan komitmen semua pihak. Jika pendidik adalah para ahli “kelas teri” maka sulit berharap bahwa lulusannya akan memiliki kelas yang tinggi.
Para pedidik di lembaga kejuruan harus selalu mengikuti dan ter-expose dengan kemajuan dunia kerja. Harus diatur suatu sistem dimana terjadi kegiatan pertukaran antara para pendidik dan pekerja ahli dari dunia kerja untuk bertukar peran dan tempat kerja. Hal ini bisa diatur dalam UU seperti diuraikan dibawah ini (pada sub-bagian Kelembagaan).
Kelembagaan
Pengaturan kelembagaan juga adalah hal yang sangat krusial untuk diatur dengan rapi dan jelas agar konsep pendidikan kejuruan bisa tepat sasaran dan berhasil. Salah satu yang membuat kacaunya pengelolaan pendidikan kejuruan Indonesia adalah karena tatanan kelembagaan yang tambal sulam dan tidak adanya kesepakatan antar lembaga terkait demi mencapai tujuan akhir.
Dalam pengelolaan pendidikan kejuruan, paling tidak ada beberapa pihak yang mutlak harus berkolaborasi dan memiliki komitmen penuh untuk terlibat. Mereka adalah Kementrian dan Dinas Pendidikan, Kementrian dan Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi-Asosiasi Profesi, Perusahaan Swasta dan Instansi Pemerintah (sebagai pengguna output) serta Lembaga Pendidikan Kejuruan (formal dan non-formal). Akan lebih bagus lagi bila lembaga terkait seperti Bappenas dan Bappeda, Kementrian dan Dinas Perindustrian, serta Gubernur/Bupati/Walikota bisa ikut dimasukkan dan memiliki keterlibatan aktif karena berhubungan dengan pembangunan ekonomi nasional dan daerah.
Tatanan kelembagaan dalam menjalankan skema nasional Pendidikan Kejuruan ini harus diberi payung hukum yang sangat kuat karena melibatkan banyak pihak. Tanpa adanya payung hukum setingkat UU, sangat sulit bagi lembaga pendidikan kejuruan untuk dapat memajukan dirinya dan berkontribusi bagi ekonomi bangsa.
Hal-hal yang mutlak harus diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kejuruan/Vokasi adalah menyangkut peran, hak dan tanggung jawab setiap pihak, kemudian proses perencanaan, penyelenggaraan hingga evaluasi dan akreditasi. Harus juga diatur yang jelas mengenai kewajiban pihak-pihak terkait untuk untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran berbasis dunia kerja, penyaluran kegiatan praktek dan lulusan, dll. Tidak lupa harus diatur juga mengenai reward dan punishment jika ada pihak yang sangat besar konribusinya ataupun melanggar aturan. Dengan demikian maka perusahaan akan memiiki kewajiban ikut menerima dan melatih peserta didik kejuruan, jika tidak maka ada sangsinya.
Perbedaan Formal dan Non-Formal
Sistem pendidikan kejuruan di era globalisasi semacam ini haruslah "agile" dan "fluid". Kekakuan pada struktur dan sistem kerja hanya akan membuat pendidikan kejuruan tidak berkembang dan gagal mengemban misi memajukan perekonomian bangsa. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengatur agar ada lembaga formal dan non-formal dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Lembaga non-formal akan memiliki banyak keleluasaan dalam bergerak dan mengantisipasi kebutuhan pasar. Pendidikan non-formal juga akan lebih fleksibel dalam mengatur lembaganya karena struktur yang lebih luwes dan birokrasi yang tidak begitu kaku.
Pada lembaga pendidikan formal, peran akan lebih diarahkan pada penyelenggaraan jurusan-jurusan yang masuk dalam kategori “mainstream” atau yang meiliki paling banyak permintaan dari pasar kerja. Untuk lembaga penyeleanggara non-formal bisa melaksanakan kegiatan pada jurusan-jurusan yang “swing” atau terus berubah spesifikasi dan kualifikasinya, serta juga masuk ke jurusan yang besifat “customized” sesuai permintaan pasar tertentu. Hal ini sulit dilakukan oleh lembaga formal. Jadi ada pembagian peran sehingga bisa menguntungkan bagi semua pihak.
Bagi saya pendidikan kejuruan tetap haruslah diarahkan menjadi penyedia calon pekerja “entry level”, namun pekerja yang harus siap berkembang menjadi ahli/expert dalam spesialisasi bidang kerja tertentu. Untuk itu maka strategi yang disiapkan harus berbeda dengan yang ada sekarang. Saat ini pada level terbawah pendidikan yaitu SMK serta diatasnya di pendidikan Diploma, para peserta didik “dicekoki” dengan pemahaman bahwa pendidikan kejuruan hanyalah mencetak “pekerja teknis” yang “kalah kelas” dibanding para sarjana pendidikan umum yang memiliki peluang karir lebih luas dan tinggi. Suatu hal yang bisa menimbulkan dampak psikologis kurang baik bagi para lulusan SMK dan Diploma, semacam "inferiority complex".
Karena itu maka strategi penyelenggaraan pendidikan yang diadopsi juga haruslah berbeda. Para peserta didik harus dibentuk agar memiliki kapasitas untuk terus maju dalam mendalami bidang kerja yang dipilih, mereka harus memiliki motivasi dan kreativitas untuk selalu mengembangkan kompetensi mereka hingga akhir hayat (life-long learning principle). Pembekalan teori dasar bidang kerja yang dipilih juga harus kuat, tidak hanya sekedar mengerti prosedur teknis pekerjaan semata.
Tentu saja tidak semua calon peserta didik yang masuk pendidikan kejuruan memiliki mimpi dan pemikiran untuk maju lebih jauh, namun ide dasar pendidikan kejuruan yang hanya berorientasi pada pencetakan tenaga kerja “operator teknis” sungguh absurd. Pendidikan kita akan disalahkan karena akan mencetak generasi “pasif” yang langsung dimasukkan “kotak nasib” tertentu tanpa memiliki peluang untuk maju yang lebih luas. Dalam kenyataan saat ini memang lulusan SMK dan Program Diploma akan selalu kalah bersaing secara jangka panjang dalam dunia kerja.
Untuk mewujudkan pendidikan kejuruan di masa depan yang berorientasi pada spesialisasi kerja seperti saya uraikan diatas, diperlukan perubahan paradigma dasar bagi para pengelola pendidikan kejuruan agar bisa mencapai keadaan itu.
Peserta
Peserta pendidikan kejuruan harus sudah “dikelola” sejak sebelum masuk ke lembaga. Sekitar 1-2 tahun sebelum masuk ke level SMK atau Diploma, para calon peserta didik harus diberi informasi seluas-luasnya mengenai kondisi dunia kerja. Lembaga pendidikan kejuruan harus aktif “reach out” ke sekolah-sekolah “feeder” semacam ini untuk memastikan bahwa para calon siswa mengerti betul pilihan jurusan yang akan diambil sesuai dengan kondisi individu masing-masing. Sekolah-sekolah “pemasok” seperti SMP dan SMA juga harus memiliki organ “bimbingan karir” yang bisa memberi arahan dan bimbingan bagi para siswa untuk dapat memilih jurusan yang terbaik bagi dirinya. Seleksi masuk dan rekrutmen peserta didik di lembaga pendidikan kejuruan tidak boleh menggunakan nilai akademis sekolah pada level sebelumnya sebagai pertimbangan utama, namun 50% pertimbangan harus berasal dari identifikasi minat dan bakat dari calon.
Selanjutnya, peserta didik harus juga harus selalu dievaluasi perkembangan dalam masa pendidikan. Jika memang terjadi deviasi minat dan bakat dalam proses pendidikan, haruslah dicari jalan keluar untuk menyesuaikannya.
Instruktur/Pelatih
Keberadaan instruktur, pelatih atau pengajar berkualitas di lembaga pendidikan kejuruan adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Idealnya para penddidik ini haruslah sesuai proporsinya, yaitu lebih besar pendidik yang memiliki latar belakang kompetensi kejuruan. Diutamakan adalah para pendidik yang memiliki pengalaman bekerja di dunia kerja. Tentu saja pendidik seperti ini berharga “mahal” dan harus dibuatkan suatu mekanisme reward yang kompetitif. Idealnya, para pekerja yang ahli dan berpengalaman justru harus menjadi pendidik di dunia pendidikan, ini harus dijadikan tujuan dan komitmen semua pihak. Jika pendidik adalah para ahli “kelas teri” maka sulit berharap bahwa lulusannya akan memiliki kelas yang tinggi.
Para pedidik di lembaga kejuruan harus selalu mengikuti dan ter-expose dengan kemajuan dunia kerja. Harus diatur suatu sistem dimana terjadi kegiatan pertukaran antara para pendidik dan pekerja ahli dari dunia kerja untuk bertukar peran dan tempat kerja. Hal ini bisa diatur dalam UU seperti diuraikan dibawah ini (pada sub-bagian Kelembagaan).
Kelembagaan
Pengaturan kelembagaan juga adalah hal yang sangat krusial untuk diatur dengan rapi dan jelas agar konsep pendidikan kejuruan bisa tepat sasaran dan berhasil. Salah satu yang membuat kacaunya pengelolaan pendidikan kejuruan Indonesia adalah karena tatanan kelembagaan yang tambal sulam dan tidak adanya kesepakatan antar lembaga terkait demi mencapai tujuan akhir.
Dalam pengelolaan pendidikan kejuruan, paling tidak ada beberapa pihak yang mutlak harus berkolaborasi dan memiliki komitmen penuh untuk terlibat. Mereka adalah Kementrian dan Dinas Pendidikan, Kementrian dan Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi-Asosiasi Profesi, Perusahaan Swasta dan Instansi Pemerintah (sebagai pengguna output) serta Lembaga Pendidikan Kejuruan (formal dan non-formal). Akan lebih bagus lagi bila lembaga terkait seperti Bappenas dan Bappeda, Kementrian dan Dinas Perindustrian, serta Gubernur/Bupati/Walikota bisa ikut dimasukkan dan memiliki keterlibatan aktif karena berhubungan dengan pembangunan ekonomi nasional dan daerah.
Tatanan kelembagaan dalam menjalankan skema nasional Pendidikan Kejuruan ini harus diberi payung hukum yang sangat kuat karena melibatkan banyak pihak. Tanpa adanya payung hukum setingkat UU, sangat sulit bagi lembaga pendidikan kejuruan untuk dapat memajukan dirinya dan berkontribusi bagi ekonomi bangsa.
Hal-hal yang mutlak harus diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kejuruan/Vokasi adalah menyangkut peran, hak dan tanggung jawab setiap pihak, kemudian proses perencanaan, penyelenggaraan hingga evaluasi dan akreditasi. Harus juga diatur yang jelas mengenai kewajiban pihak-pihak terkait untuk untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran berbasis dunia kerja, penyaluran kegiatan praktek dan lulusan, dll. Tidak lupa harus diatur juga mengenai reward dan punishment jika ada pihak yang sangat besar konribusinya ataupun melanggar aturan. Dengan demikian maka perusahaan akan memiiki kewajiban ikut menerima dan melatih peserta didik kejuruan, jika tidak maka ada sangsinya.
Perbedaan Formal dan Non-Formal
Sistem pendidikan kejuruan di era globalisasi semacam ini haruslah "agile" dan "fluid". Kekakuan pada struktur dan sistem kerja hanya akan membuat pendidikan kejuruan tidak berkembang dan gagal mengemban misi memajukan perekonomian bangsa. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengatur agar ada lembaga formal dan non-formal dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Lembaga non-formal akan memiliki banyak keleluasaan dalam bergerak dan mengantisipasi kebutuhan pasar. Pendidikan non-formal juga akan lebih fleksibel dalam mengatur lembaganya karena struktur yang lebih luwes dan birokrasi yang tidak begitu kaku.
Pada lembaga pendidikan formal, peran akan lebih diarahkan pada penyelenggaraan jurusan-jurusan yang masuk dalam kategori “mainstream” atau yang meiliki paling banyak permintaan dari pasar kerja. Untuk lembaga penyeleanggara non-formal bisa melaksanakan kegiatan pada jurusan-jurusan yang “swing” atau terus berubah spesifikasi dan kualifikasinya, serta juga masuk ke jurusan yang besifat “customized” sesuai permintaan pasar tertentu. Hal ini sulit dilakukan oleh lembaga formal. Jadi ada pembagian peran sehingga bisa menguntungkan bagi semua pihak.
0 Komentar